KeluargaSehat.id - Hal ini sangat beralasan karena masalah gizi adalah pilar utama kesehatan, juga tumbuh kembang anak.
Untuk diketahui, tahun lalu permasalahan gizi buruk, menurut pantauan www.mediaindonesia.com, Jum'at, 3 June 2016, 06:55 WIB, prevalensinya masih tinggi, yakni mencapai 5,7% untuk gizi buruk, dan gizi kurang 13,9%. Tahun ini Kemenkes mengklaim di http://www.depkes.go.id, angka stunting yang merupakan salah satu parameter gizi kurang sudah turun.
Laporan dari Micronutrient Initiative Indonesia (MMI) lain lagi. Menurut Dr. Elvina Karyadi, MSc, PhD, SpGK, Director MII, kecukupan gizi masih menjadi PR besar pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. “Saat ini kita di Indonesia mengalami ‘double burden malnutrition’ atau masalah gizi ganda. Disatu sisi gizi kurang-stunting masih tinggi (37%), tapi muncul sebuah kondisi yang bertolak belakang, yaitu masalah gizi lebih.”
Kenapa kondisi seperti itu yang sekarang terjadi? Banyak hal yang memengaruhinya. Tapi yang berpengaruh langsung adalah pola makan (dietary intake), aktivitas fisik, dan adanya penyakit. “Adapun pengaruh tidak langsungnya adalah pendidikan, pengetahuan gizi, sosial ekonomi, akses terhadap pelayanan kesehatan.” Papar Elvina.
Untuk mengatasi hal itu harus membenahi pola makan makan harian keluarga Indonesia. Nah, pola makan harian masyarakat Indonesia ini hanya bisa dibentuk dengan kesadaran maisng-masing individu. Juga tumbuhnya ekomomi masyarakat.
Masalah ekonomi bisa memengaruhi kondisi gizi masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin di ibu kota Jakarta per Maret 2017 sebesar 389,69 ribu orang. Indeks kemiskinan tersebut meningkat 0,02 poin atau 3,85 ribu orang dibanding bulan September 2016 lalu yang mencapai angka 384,30 orang.
Selama Maret 2016-September 2016-Maret 2017, garis kemiskinan naik sebesar 3,05 persen pada periode September 2016-Maret 2017 (dari Rp 520.690 per kapita per bulan, menjadi Rp 536.546 per kapita per bulan), dan naik sebesar 5,13 persen pada periode Maret 2016–Maret 2017 (dari Rp 510.359 per kapita per bulan menjadi Rp 536.546 per kapita per bulan).
Dikarenakan angka kemiskinan itu, tak heran masyarakat kita yang masih rendah tingkat pendidikannya, juga masih kurang pengetahuan mengenai gizi seimbang dan lengkap, akan memilih jalan pintas dalam urusan gizi. Semisal, karena anak tidak mau makan diberikan Susu Kental Manis (SKM). Anak yang sudah minum SKM dianggap sudah mendapat asupan gizi yang cukup. Padahal, asupan gizi cukup itu harus didapat dari makanan seimbang, kalaupun diberikan susu untuk kondisi tertentu, bukan SKM solusinya.
“Untuk menyadarkan masyarakat akan hal ini pendidikan dan edukasi menganai gizi adalah solusinya. Paling tepat datangnya dari masyarakat sendiri.” Dengan bahasa lain, papar Elvina, di sini harus terjalin kesepakatan dan kerjasama semua pihak dan lapisan masyarakat. “Tugas pengentasan masalah gizi kurang, buruk, bukan hanya beban pemerintah. Karena ini tugas kita bersama sebagai warga negara, bangsa Indonesia,” jelas Doddy menjelaskan.
Pentingnya komunitas masyarakat
Supaya kondisi gizi masyarakat Indonesia mengalami peningkatan, mendidik masyarakat akan gizi seimbang (tumpeng gizi seimbang) dengan 4 pilar utama, aneka ragam makanan/variasi makanan, menjaga kebersihan, aktivitas fisik, dan menjaga BB ideal, sebaiknya segera digencarkan oleh semua pihak. Karenanyalah, Elvina sangat setuju sekali jika hal ini pergerakannya dimulai dari masyarakat sendiri. “Sejak dahulu kita mengenal istilah Kadarzi alias keluarga sadar gizi. Sehinffaa seluruh anggota keluarga memenuhi gizi seimbang.” Sekarang kemana?Jika Kadarzi, Sehinffa, lebih gencar lagi pergerakannnya, apalagi jika dibantu juga didukung oleh komunitas-komunitas lainnya yang lahir dari masyarakat, mereka juga bisa menjadi sosial kontrol yang tangguh terhadap banyak hal. Termasuk iklan-iklan produk gizi yang salah. Seperti SKM diminum dan bisa sebagai penambah gizi keluarga, termasuk anak.
“Iklan bisa saja memengaruhi gizi masyarakat. Bila iklannya benar dan mendorong manusia untuk mencukupi kebutuhan nutrsi dengan benar, tentu sah-sah saja. Tapi jika sebaliknya, ini yang harus diluruskan.” Tegas Elvina.
Penulis: Adede
Comments
Post a Comment